Rabu, 24 Desember 2008

Ponsel Sebagai Teknologi Budaya Dan Budaya Teknologi

"Content Provider" dan Budaya Lokal
Awal 2008, menurut beberapa sumber, jumlah pengguna telepon seluler atau ponsel diperkirakan sekitar 80 juta orang. Pada akhir 2008 malah ada prediksi bahwa jumlahnya akan mencapai 90 juta orang. Yang sangat menarik dalam ceruk bisnis komunikasi, diperkirakan 10 persen dari jumlah itu adalah pelanggan 3G.

Layanan 3G merupakan pengembangan dari general packet radio service (GPRS), atau biasa juga disebut 2,5G, yang sudah lama ada di Indonesia dan terkenal dengan pengiriman data berupa layanan pesan multimedia (MMS).

Tentu layanan 3G harus bernilai lebih dibandingkan dengan GPRS. Salah satu layanan yang menjadi andalan adalah video call. Melalui layanan ini penelepon bisa saling bertatap muka dengan lawan bicara melalui layar ponsel. Layanan video call ini tidak hanya untuk jual tampang di layar ponsel, tetapi juga bisa untuk tujuan lain, seperti e-learning, berkonsultasi dengan dokter, atau melihat-lihat rumah yang bakal dijual.

Selain video call, masih ada layanan lain seperti audio dan video streaming. Layanan ini dianggap efektif karena tidak perlu mengunduh (download) file tersebut, tetapi langsung bisa melihat di layar ponsel, baik langsung (live) maupun rekaman (video on demand).

Untuk mendapatkan layanan tersebut biasanya ada kerja sama antara technology provider dan content provider. Technology provider (TP) adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa telekomunikasi, seperti PT Telkom dan Telkomsel. Adapun content provider (CP) adalah perusahaan yang menyediakan isi layanan (content) berupa video call, audio streaming, ataupun video streaming.

Sebenarnya CP tidak hanya memberikan layanan untuk 3G, tetapi bisa juga untuk layanan pesan singkat (SMS). Saat ini marak dalam iklan, baik di televisi maupun media cetak, misalnya untuk game, berita dan i-ring (ringback tone). Contohnya, kita sering diminta mengirim SMS ke nomor 123xxx dengan mengetik REGNAMA. Sampai-sampai ramalan pun menjadi salah satu produk CP. "Content" budaya lokal

Tampaknya belum satu pun CP melirik content budaya lokal. Peristiwa budaya yang hampir setiap tahun terjadi dan berkesinambungan di Jawa Barat, seperti nyangku di Panjalu, seren taun di Cigugur (Kuningan), dan seba di Kabuyutan Ciburuy (Garut) bisa direkam untuk dijadikan video streaming sebagai bahan pengetahuan sekaligus tontonan budaya. Termasuk jenis-jenis kesenian tersebut adalah kuda renggong, sisingaan, bebegig Sukamantri, calung, dan reog Sunda.

Begitu pun untuk hal-hal yang lebih sederhana, seperti pengiriman SMS untuk bertanya tentang paribasa Sunda. Kirim SMS ke nomor 123xxx dengan mengetik PARIBASAA, yang berarti meminta peribahasa Sunda dengan huruf awal A. Lantas, CP mengirimkan lima peribahasa tersebut.

Memang untuk memasukkan budaya lokal sebagai program CP bukan perkara mudah. Setidaknya hal itu harus melalui survei terlebih dahulu untuk mengetahui animo masyarakat apabila benar-benar akan diperhitungkan sebagai bisnis murni. Mati atau hidup sebuah perusahaan CP tergantung dari program yang ditawarkan. Apabila mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat, artinya sering diakses, semakin hidup CP tersebut. Yang penting lagi, pembagian pendapatan antara CP dan TP jangan hanya menguntungkan TP tanpa melihat program yang ditawarkan.

Saat ini pembagian pendapatan masih lebih besar untuk TP, yaitu sekitar 60 persen. Apabila program yang ditawarkan mengandung misi pendidikan dan pelestarian budaya, sebaiknya ada peninjauan ulang mengenai pembagian hasil itu. Pembagiannya jangan disamakan dengan program ramal-meramal atau kuis yang justru membebalkan masyarakat. Benar bahwa yang merajai saat ini adalah program i-ring atau ringback tone, bukan saja hasil karya pemusik asing, melainkan juga hasil karya pemusik nasional dan lokal tradisional.

Hal lain yang mesti diingat adalah layanan 3G tanpa content tiada beda dengan kolam tanpa ikan. Begitu juga apabila content lebih berorientasi kepada asing tanpa melirik content lokal. Itu sama dengan kacang lupa pada kulitnya. Ada juga pengusaha CP dari kalangan pemodal asing yang tentu saja tidak pernah kenal budaya lokal. Di sini peran regulator (pemerintah) dan Indonesia Mobile and Online Content Association (IMOCA) bisa memberikan pengarahan akan makna budaya lokal.

Untuk membuat content berbasis budaya lokal diperlukan keterlibatan beberapa profesi andal, seperti fotografer, desainer grafis, kamerawan, seniman, budayawan, dan sejarawan. Itulah kerja kreatif yang sekaligus memberikan sumber penghidupan kepada banyak pihak yang pada dasarnya merupakan bagian dari industri kreatif. Jangan dilupakan pula unsur hak kekayaan intelektual supaya tidak terjadi pembajakan hasil produksi. Pemerintah daerah

Keterlibatan pemerintah daerah-dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) tingkat provinsi, kota, ataupun kabupaten-sangat diperlukan, terutama untuk pendekatan kepada TP dan tentu yang mempunyai alokasi dana dari uang rakyat melalui pajak. Pendekatan kepada TP dilakukan supaya hal ini tidak melulu dipandang sebagai bisnis yang selalu berdasarkan perhitungan untung rugi secara finansial. Ini adalah pendidikan dan pelestarian budaya yang tidak dapat dihitung untung dan ruginya secara finansial. Keterlibatan Disbudpar bisa saja sekaligus membuat CP bisa diakses semua pelanggan TP atau mengadakan kerja sama dengan CP yang telah ada.

Sekarang saatnya memasuki ranah itu. Jangan sampai terlambat. Kalau terlambat, para kreator asing akan segera masuk dan mengeksplorasi semua kekayaan budaya lokal, sedangkan kita hanya akan menjadi penonton budaya di negeri sendiri. Tren ke depan, content is the king. Rebutan kue bisnis seluler akan ditentukan keberagaman content. TP tanpa melibatkan CP yang andal akan menjadi garing dan ditinggalkan pelanggan.

Satu hal lagi yang harus menjadi perhatian ialah layanan 3G yang menawarkan akses data berkecepatan tinggi. Maka, mobile internet merupakan salah satu content yang mempunyai daya tarik lain. Untuk itu, membuat portal budaya (Sunda) di internet yang memuat Sunda sapuratina (all about Sunda) tampaknya sudah menjadi keharusan. Sekali lagi, karena ini merupakan kekayaan budaya Sunda, siapa lagi yang peduli kalau bukan urang Sunda sendiri melalui Disbudpar Jawa Barat.

MAMAT SASMITA Pensiunan Telkom, Penggiat Rumah Baca Buku Sunda

Tidak ada komentar: